Selamat datang di blog kastrat, jangan lupa tinggalkan pesan anda..^^

Sabtu, 08 Agustus 2009

Krisis Energi: Sebuah Renungan dan Refleksi Generasi-Generasi Indonesia

Oleh: Harris Subhan Riparev
NPM: 120210070084
Mahasiswa FE Unpad
Staff Departemen Kajian Strategis BEM FE Unpad

Sebuah peristiwa terlintas dengan cepat dan menganggu pikiran saya ketika pertama kali saya menekan tuts keyboard untuk menulis esai mengenai krisis energi ini.

Saya membayangkan bagaimana saya bisa sampai dari rumah menuju ke kampus Unpad Dipati Ukur kebanggaan saya ini! Sebuah problema klasik seseorang yang bertempat tinggal nan jauh dari pusat kota dan membutuhkan sebuah sumber daya agar dapat menjembatani mimpi-mimpinya menuju masa depan. Sumber daya itu kita namakan ENERGI.

Bila ditilik lebih jauh, ketiadaan energi bisa memicu masalah menjadi jauh lebih kompleks daripada persoalan ketidakmampuan saya sampai ke kampus untuk menuntut ilmu. Tetapi sebelum kita berputar-putar dan sedikit mengusik kehidupan energi nan luas, ada baiknya kita mencoba mengupas sebab energi menjadi langka.

Langkah pertama ini akan saya dukung dengan sedikit argument mengenai mengapa energi (lebih tepatnya energi yang tidak bisa diperbaharui, karena hal ini lah yang akan kita bahas) menjadi sangat penting di dalam kehidupan berbangsa dan bernegara sehingga ketika tidak ada energi seluruh elemen masyarakat, mulai dari tukang sampah hingga Presiden, ribut.

Kedua, saya akan mencoba membahas sejauh mana pengaruh keterbatasan energi ini terhadap kehidupan sosial-ekonomi masyarakat. Saya juga akan sedikit menambahkan bagaimana peran serta pemerintah untuk menanggulangi krisis ini dan apakah sebenarnya pemerintah ada di pihak wong cilik di dalam masalah ini atau malah mendukung konglomerat-konglomerat yang bersama-sama rakyat kecil berebut energi yang terbatas tersebut.

Ketiga, saya akan mencoba menganalisis secara lebih mendalam dan konfrehensif masalah krisis energi dan opsi-ospi yang masih mungkin kita tempuh untuk mengatasi masalah energi ini.

Sebelum saya mulai memberikan gambaran secara gamblang, ada baiknya kita menyatukan persepsi bahwa masalah energi tidak hanya melanda Indonesia saja. Hal ini penting untuk disebarluaskan agar tidak ada tindakan menyalahkan (blaming) kepada pemerintah Indonesia yang pada akhirnya akan menyulitkan pemerintah untuk mengambil tindakan yang pro rakyat. Kedua, kita harus setuju bahwa krisis energi adalah salah satu pengaruh dari hal-hal lain yang juga terjadi di sekitar kita seperti pertumbuhan ekonomi wilayah Asia, hal ini akan kita sebut sebagai domino effect.

Kita semua tahu dan bahkan tanpa malu-malu mengakui bahwa kita adalah bangsa miskin, bangsa kuli. Kita membutuhkan energi yang besar agar bisa maju. Kita membutuhkan tenaga-tenaga untuk menjamin kelangsungan pertumbuhan ekonomi bangsa. Celakanya, kita jauh tertinggal di dalam bidang teknologi. Ketertinggalan tersebut diperparah dengan adanya Hak Atas Kekayaan Intelektual (HAKI) yang menjamin orang-orang tertentu yang mampu menciptakan, merekayasa atau memperbaiki dan menyempurnakan sesuatu untuk memonopoli penjualan, pendistribusian dan penggunaan sesuatu yang ia ciptakan tersebut. Bangsa kita yang Human Development Indexnya hanya menempati peringkat 69 dunia (data 2007, Microsoft Encarta) tentu akan sangat sulit bersaing untuk mendapatkan hak-hak paten baru (wong matenin tempe aja telat) apalagi anggaran pendidikan kita kurang dari 20% (data sebelum APBN 2009), otomatis kita kalah.

Bangsa ini terpaksa memakai teknologi-teknologi kuno yang mengkonsumsi energi jauh lebih besar disbanding teknologi terbaru. Walaupun ada sebuah program yang dinamakan Transfer Teknologi, tetapi sejauh ini saya tidak melihat program itu berhasil.

Kedua, karena Human Development Index (HDI) kita jelek, berarti peningkatan kualitas SDM kita juga mandek. Kualitas SDM yang bobrok ditambah sifat khas kebanyakan orang Indonesia seperti malas, santai dan boros membuat eksploitasi energi telah berubah menjadi wahana perampasan hak-hak generasi mendatang untuk menikmati energi.

Kita terlena dengan anggapan bahwa Negara kita kaya dengan sumber daya alam. Kita juga terlampau sombong dengan titel “Negara pengekspor minyak, anggota OPEC” sehingga kita lupa (lagi-lagi ini sifat khas kita) bahwa minyak bukanlah energi yang bisa dipebaharui. Kita tidak memulai untuk menggunakan energi yang lebih ramah lingkungan, murah dan sebenarnya kita punya. Kita tidak hanya bodoh tetapi juga dibodohi. Kita bertahun-tahun mengekspor batubara dengan harga yang sangat murah tetapi kita sendiri belum memaksimalkan potensi batubara yang kita miliki untuk memenuhi kebutuhan energi di dalam negeri. Selain batubara, energi nabati bisa menjadi alternatif yang sempurna.

Seluruh kekuatan pertahanan dan fondasi Negara dibangun di atas energi yang tidak bisa tergantikan. Kita sudah jauh-jauh hari memilih minyak tanah sebagai bahan bakar untuk rumah tangga (baca: memasak) tetapi tahukah Anda, minyak tanah memiliki level keekonomian yang hanya bisa ditandingi oleh Avtur. Bagi yang belum tahu Avtur, saya beri tahu, Avtur adalah “bensin”nya pesawat udara. Ini adalah kesalahan pertama pemerintah; ketika harga minyak dunia melonjak, pemerintah kelabakan, rakyat seolah-olah menjadi korban walaupun di sini saya melihat bahwa rakyat Indonesia memang masih belum memiliki visi yang revolusioner.

Masalah tata ruang kota juga merupakan sebuah penyebab yang signifikan terhadap krisis energi. Tata ruang dan tata letak hampir seluruh kota di Indonesia kacau. Tidak adanya visi terhadap masa depan membuat nyaris seluruh wilayah di Indonesia salah urus. Kita rela meminjam uang puluhan milyar dollar untuk membangun jalan raya yang lebar dan panjang namun di kemudian hari tidak terawat, jalan tol yang semakin hari semakin mahal dan hanya menjadi milik sebagian kecil masyarakat yang mampu membeli kendaraan roda empat atau lebih. Sebuah ide revolusioner yang saya baca di harian Kompas dan saya coba sosialisasikan lewat media ini adalah dengan membangun transportasi kereta api. Tidak memakan banyak lahan hijau, cepat tanpa macet dan mampu menampung banyak penumpang (massive public transportation) namun yang terpenting adalah hemat energi.

Ide ini pernah ditawarkan oleh Almarhum Ali Sadikin ketika menjabat sebagai Gubernur DKI Jakarta. Ide subway-nya ditolak mentah-mentah oleh Presiden Soeharto. Alhasil, sekarang kita hanya bisa iri melihat Singapura membanggakan subway-nya. Tidak sedikit orang Indonesia yang rela ke Singapura hanya untuk menjajal subway. Bayangkan!

Energi semakin lama semakin sedikit. Rakyat semakin tercekik. Tiba-tiba minyak tanah hilang, minyak dunia melonjak menjadi $140 per barel (walaupun kemudian kembali turun dan sekarang berada pada level US$ 70), pembangkit-pembangkit listrik kita yang sudah tua dan boros energi tidak bisa beroperasi, listrik menjadi langka. Seluruh sumber energi yang menopang kehidupan masyarakat mendadak menjadi langka dan mahal. Pemadaman listrik terjadi di mana-mana. Industri menjadi kacau. Semua itu masih ditambah proyek konversi minyak tanah menjadi gas yang tidak tepat sasaran dan adanya ketidakkonsistensian pemerintah dalam mengambil kebijakan.

Mereka menarik minyak, menggantinya dengan gas dengan jargon, hemat dan murah. Beberapa bulan kemudian pemerintah kita yang baik itu malah menaikkan harga gas. Bahkan kenaikan itu akan berlangsung secara berkala hingga mencapai level keeokonomiannya. Luar biasa!

Krisis listrik juga ditengarai mampu melumpuhkan perekonomian masyarakat terutama industri rumah tangga yang sangat bergantung pada listrik. Pemadaman bergilir juga menyiksa industri besar yang nyatanya adalah sumber pemasukan pemerintah dari sektor pajak. Berapa besar tambahan biaya produksi yang harus mereka keluarkan bila mereka memilih menggunakan genset ketika listrik padam. Pemadaman tidak hanya terjadi satu dua jam tetapi bisa sampai belasan jam.

Rumah Sakit Hasan Sadikin Bandung saja menghabiskan total 500 juta rupiah perbulan untuk menyuplai solar agar listrik bisa menyala. Dan ingat, genset menggunakan solar yan notabenenya adalah keluarga minyak, sumber energi yang sekarang juga sedang dilanda krisis.

Lalu, apa yang akan kita lakukan? Melakukan demonstrasi menentang kenaikan BBM tanpa melakukan sebuah tindakan riil untuk membantu menyelesaikan masalah ini? Atau memilih menyalahkan pemerintah atas segala yang terjadi? Atau mungkin bersikap cuek dan tidak mau ambil pusing?

Kita akui, pemerintah telah mencoba melakukan tindakan yang pro rakyat. Pertama, pemerintah memutuskan keluar dari OPEC. Sebuah tindakan yang harus kita dukung, karena kita sebenarnya adalah Negara pengimpor minyak tetap, bukannya pengekspor minyak seperti dahulu.

Keinginan pemerintah untuk melakukan negosiasi ulang di Ladang Gas Tangguh adalah bentuk nyata karya pemerintah untuk mencegah kerugian yang semakin besar di masa yang akan datang. Tidak usahlah kita menyalahkan pemerintah sebelumnya yang diindikasikan melakukan kesalahan akumulasi ekonomi di Blok Tangguh tersebut, namun sekarang bagaimana kita membantu pemerintah untuk menghilangkan krisis energi ini.

Caranya? Mudah saja, jangan memakai listrik untuk hal yang tidak perlu. Sebagai mahasiswa kita seharusnya peka, contohnya adalah penggunaan AC. Bila masih ada ventilasi, jangan gunakan AC. Atau kalaupun masih menggunakan AC, pakailah dengan sewajarnya. Bila dirasa satu sudah cukup, jangan menghidupkan dua.

Berhenti melakukan perjalanan yang tidak perlu. Kita yang diberi rezeki lebih oleh Tuhan seperti terbuai dengan segala fasilitas yang diberikan oleh-Nya. Bila rumah kita hanya beberapa ratus meter dari kampus, jangan menggunakan motor atau mobil, berjalan kakilah. Stop melakukan hal-hal bodoh seperti hang out setiap hari. Marilah kita melakukan penghematan. Kita sebagai generasi yang sudah terdidik seharusnya mampu memberikan teladan yang baik bagi teman-teman kita yang belum bisa mengecap pendidikan seperti kita. Bersikaplah seperti seseorang yang cerdas dan visioner.

Bagi yang memiliki ide kreatif untuk menanggulangi krisis energi, ayo kita dukung, jangan kita cerca atau kita sangsikan. Ide pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir bisa jadi menjadi jawaban untuk krisis energi. Penggunaan bioetanol yang lebih ramah lingkungan juga bisa menjadi alternatif. Penggunaan solar cell juga merupakan jawaban masyarakat atas tantangan krisis energi.

Saatnya kita bertindak, teman-teman mahasiswa. Jadilah mahasiswa yang kritis dan peduli dengan lingkungan sekitar. Milikilah semangat untuk melakukan perubahan. Tinggalkan hal-hal lama yang tidak baik dan bersifat membodohi, lalu lakukanlah hal-hal yang baru, hal-hal yang bisa mengubah kita semua. Hal-hal yang bisa mengarahkan kita ke arah yang lebih baik.

Kembali ke awal, bila energi bisa dihemat, saya sebagai salah satu generasi muda Indonesia bisa melanjutkan usaha saya untuk meraih segala angan dan asa saya. Saya bisa kembali ke kampus untuk menuntut ilmu dari Bapak-Ibu dosen yang terhormat.

Dunia telah melakukan tindakan nyata melawan krisis energi. Saatnya kita untuk berubah! Saatnya kita bangkit!

Kalau tidaksekarang, Kapan lagi?!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar